Selasa, 19 Agustus 2008

Merahnya Merah Buah Wuni

Mungkin suatu ketika, aku atau juga dirimu, masih bisa menjumpai batang-batang pohon tampak bersih mengkilat. Tumbuh di halaman atau samping rumah. Atau mungkin jauh di tengah pekarangan kosong. Tentu, bukan karena cat atau melamin. Tetapi, karena terlalu sering dipanjat.

Berpuluh-puluh tangan, berpuluh-puluh kaki anak-anak, memahat kegembiraan. Memburu dan mendapatkan. Adalah kebanggaan tersendiri. Adalah nuansa keceriaan. Tatkala pagi, siang dan senja membuat warna hari-hari.

25 tahun yang lalu, ketika musim buah wuni tiba desaku, anak-anak seringkali memburunya. Memanjat, menggapai dan memetik. Buah-buah berwarna merah, Ranting-ranting diayun dan dipatah. Rasa asam ditahan dan nikmat di lidah.

Buah wuni yang telah masak bener, hitam warnanya. Manis rasanya. Dulu di desaku, pohon wuni tumbuh di belakang rumah Mbah Tanu. Tak cukup tinggi. Yang pasti, ketika aku berada pada pokok pohon bagian atas, aku dapat memandangi atap-atap limas an rumah Mbah Tanu. Genteng berlumut hitam, tak rapi jajaranya. Tampak kotor dan berdebu.

Aku dan juga teman-teman sepermainanku, tak sering berjumpa dengan buah wuni berwarna hitam. Karena belum sampai saat masak, kami sudah keburu memetiknya. Atau anak-anak lain di desaku. Kami hanya menemu wuni berwarna merah. Tapi cukup buat kami.

Mungkin di antara kita masih ada yang mengingatnya. Wuni dengan rasa asamnya, sering kali juga dipakai untuk membuat sambal rujak atau lotis. Tentu bukan kami yang memetiknya, karena setahuku, pohon itu telah ta ada. Rumah Mbah Tanu juga telah menghadap ke utara. Salam rindu buat teman-teman di desaku..............didik.

Selasa, 12 Agustus 2008

Awar-awar: Roda-roda mobil mainanku

Apa yang kudapati dalam masa kanak-kanakku, ternyata belum tentu hilang begitu saja. Meski tidak serupa dulu lagi. Ternyata, kenangan tidak pernah menghilang dari ingatan. Meski menumpuk dari waktu ke waktu. Daun-daun hijau yang lebar, buah-buah kecil yang bulat, dan berdompolan.

Masih ingatkah ketika masa kanak-kanak kita bermain mobil-mobilan? Aku masih ingat betul tentang kenangan itu. Dan pada usiaku yang telah cukup jauh memahat waktu, kadang sering pula aku bertanya pada diriku sendiri. Tentang kenangan akan permainan mobil-mobilan, tentang roda-roda dari bebuahan pohon awar-awar.

Gimana aku dulu bisa bangga memandangi mobil-mobilanku dengan roda dari buah awar-awar? Seingatku, hampir tak ada mobil lewat di kampungku. Karena memang cukup jauh di pelosok desa. Jalan tanpa aspal, berdebu dan mengalir air bak sungai di musim penghujan.

Sahabat, benar adanya. Ketika aku masih kecil, melihat motor yang lewat di jalan desaku saja belum tentu satu bulan berjumpa. Aku ingat betul: ketika aku bersama parjan, temanku, rumahnya di bersebelahan dengan rumahku, kira-kira 200 meter di sebelah timur, kami sudah mulai ketakutan ketika suara motor telah menggema membelah desaku.

Aku dan Parjan berlari bersembunyi di balik tumpukan batu bata dan mengintipnya. Motor berukuran besar, mungkin bermerk BSA atau sejenisnya. Berwarna hitam dengan suara knalpot ...oblog-oblog....... Di atasnya seseorang dengan topi bundar dari mika. Wah serem betul waktu itu. Cukup cepat dan melitas lewat.

Dengan motor aja takut, gimana aku bisa menampilkan mainan mobil-mobilan waktu itu? Aku hanya menafsirkan cerita ibu dan kakak-kakakku. Mungkin mereka sudah pernah melihat mobil beneran di kota-kota. Yang aku tahu pasti, mobil memiliki roda empat. Tentang bentuknya? Yang penting panjang, lebib panjang dari motor oblog yang sering melintas di jalan desaku.

Tetapi menurut cerita yang kugali dari orang-orang tua terdahulu, pohon awar-awar ini bisa sebagai bahan parem. Untuk anak-anak kecil. Buahnya di tumbuk kemudian dioles-oleskan pada bagian tubuh. Khususnya untuk luka memar. Secara pasti aku tidak begitu tahu.

Dan yang kutahu sekarang, awar-awar masih saja tumbuh subur di pinggir-pingir selokan, pinggir-pinggir pedesaan, dan bahkan aku sering berjumpa: ia tumbuh di pinggir jalan lingkar selatan Yogyakarta. Tentu, aku tak lagi memetiknya buat roda-roda mobil mainanku. Dan semoga ia tetap tumbuh dan membuat kenangan tersendiri bagi anak-anak kita nanti..........(didik).

Pohon Pilang: Kenangan ketika hari berangkat tengah siang

Terkadang dan tak sengaja, pandanganku menemu burung-burung kecil berloncatan di dahan dan tangkai dedaunan pohon pilang di pekarangan. Daun dengan warna kekuningan dan bertangkai panjang. Mirip daun Waru. Tetapi ukurannya jauh lebih besar, mungkin 4 kali lebih lebar. Dengan berhias burung-burung berbulu abu-abu cerah, dan sedikit menampilkan lurik pada bagian sayapnya, pohon pilang nampak semakin memberikan keceriaan pada hari menjelang tengah siang.

Pilang, mungkin di lain daerah mempunyai nama tersendiri untuk menyebut pohon ini. Tentu bukan masalah, karena ini justru memperlihatkan betapa pohon pilang ini memiliki banyak julukan. Dengan batang yang tidak begitu besar, ia tampil dengan kulit batang yang agak berwarna putih. Pohon pilang biasa tumbuh liar, jauh dari rumah-rumah penduduk. Dan tak pernah ada cerita kapan ia ditanan dan siapa pula yang merawatnya. Ketika aku masih kanak-kanak, pohon-pohon ini sudah tumbuh besar. Dan memang jarang terdapat di desaku kala itu.

Sampai saat ini aku juga belum pernah mencatat cerita tentang kegunaan pohon ini, selain untuk kayu bakar. Yang pasti, pohon ini banyak terdapat sumber makanan bagi burung-burung kecil yang pernah hidup di desaku waktu itu. Mungki di sana ada ulat-ulat kecil, atau biji-biji buah pilang yang kecil-kecil. Atau bunga-bunganya yang tak cukup memiliki warna. Tetapi yang kutahu, burung-burung kecil suka berloncatan di dahan-dahan dan tangkai daun pohon pilang.

Jika suatu waktu, sahabat-sahabatku atau siapa saja menemu pohon ini, sampaikan salamku. Ia senantiasa mengingatkan tentang hari menjelang tengah siang. Tatkala aku pulang dari sekolah dasar. Meski aku berjalan sendirian menyusur jalan-jalan di tengah pekarangan, aku senantiasa menyempatkan untuk menikmati keindahan itu:

Burung-burung kecil yang berloncatan.
Daun-daun yang berayunan.
Angin yang bermain-main dengan hembusan ...............(didik).

Senin, 11 Agustus 2008

Pepohon Salam: Jejak yang tertinggal di masa kanak-kanak

Daun-daun salam pun berguguran
…..

Begitu kira-kira satu kalimat dalam puisi berjudul Arjuna, karya Prof. Dr Suminto A Sayuti. Penyair yang tinggal di Yogyakarta yang juga seorang guru besar di Universitas Negeri Yogyakarta.

Tetapi bagiku, pohon-pohon salam adalah bagian hidup masa kanak-kanakku. Masa-masa ketika aku masih bersama bocah-bocah di pedesaan. Parjan, Tarjo, Kusnan, Ngadiman ...dan banyak lagi. Pohon-pohon salam juga selalu mengingatkanku akan jerih payah bapak dan ibuku. Hidup di pedesaan, di tengah-tengah dengus nafas petani-petani kecil. Di rindang pepohonan, di dengar kicau burung di awal pagi dan juga di hias warna-warni buah-buahan liar. Tumbuh menjulang, di pagar-pagar pekarangan, di tepian desa dan kadang merunduk di atas sungai-sungai kecil.

Dulu, pohon salam di desaku cukup banyak tumbuh di pekarangan. Besar-besar dan bercabang-cabang. Lebat buahnya di akhir musim kemarau. Kecil-kecil dan manis rasanya. Apalagi ketika buah sudah masak, hitam warnanya.

Sampai saat ini, aku belum pernah makan buah salam yang sudah benar-benar masak yang langsung kupetik sendiri dari pohonnya. Ketika pohon salam ini berbuah di desaku, aku belum cukup besar sehingga tak mampu memanjatnya. Lingkar batang sampai setengah meter. Toh kalau aku nekad, bakalan kena marah bapak ibu.

Aku hanya bisa merasakan buah salam yang berwarna hitam yang telah jatuh di tanah. Mungkin sisa kelelawar atau yang jatuh sendiri di sepanjang malam. Tapi tetap nikmat. Apalagi ngambilnya sembari rebutan dengan teman-teman. Tak ada kuman atau virus, karena nyatanya aku tetap sehat sampai sekarang. Anugrah kali.

Kalau aku makan buah salam segar, hanya ketika bocah-bocah di desaku yang udah gede-gede memberiku dalam kesempatan memetik buah salam beramai-ramai. Dan biasanya kalau memberi anak-anak kecil yang sering nunggu di bawahnya, hanya yang merah-merah, sehingga rasanya gak manis, agak masam sedikit. Tapi tak apalah, memang anak kecil cukup untuk itu.

Ibu, dulu juga selalu memasukan daun salam ketika membuat bubur buatku. Katanya ”biar terasa lebih enak”, kata ibuku waktu dulu. Tetapi memang begitu, sampai sekarang ketika aku telah berumur 36 tahun, istriku sering pula memakai daun salam sebagai penyedap masakannya. Tetapi jelas bukan aku yang mengambilnya daei kebun. Istriku membeli dari warung sebelah. Daun-daun salam yang telah berangkat kering.

Begitu kira-kira ingatanku tentang pohon salam. Jejak masa kanak-kanak yang telah berangkat ke barat. Dan ketika anda atau siapapun bertanya tentang pohon salam, aku hanya bisa jawab: aku menyimpannya dalam kenangan. Pohon-pohon salam di desaku sudah banyak di tebang. Coba di daerah lain, mungkin masih ada hidup menjulang. Atau mungkin malah di pot halaman sebelah rumah. Coba kita cari bersama-sama. Mungkin dan mungkin masih ada yang tersisa. Semoga. ....(didik)

Kamis, 07 Agustus 2008

Subokestowo Paksi: Penunggu Pohon Salam

Pepohonan salam adalah sebuah blog yang dimotori oleh komunitas peduli lingkungan. Mereka adalah Didik Rohadi ; Bambang Surono dan Yuller. Komunitas ini lahir dari sebuah inspirasi yang muncul karena seraut wajah seorang bocah kecil bernama Subokestowo Paksi. Anak masa depan ini lahir di perumahan kasongan permai, Sewon bantul. Tim pepohonan salam berkeliaran di Kabupaten Bantul Propinsi Yogyakarta dan sekitarnya. Berbagai informasi tentang tanaman atau pepohonan menjadi incaran tim ini untuk abadikan. Meski hanya cerita dan fotonya.

Blog pepohonan salam di-inisiasi dari sebuah obrolan - nostalgia: kenangan masa kanak-kanak yang terus menggelombang dari hari ke hari di masa usia yang semakin senja. Surut dan pasang; hilang menyelinap, datang dan hinggap. Namun yang pasti, apa yang kita jumpai pada masa kanak-kanak kami, tentang desa, tentang pepohonan, perdu dan rerumputan di sawah dan pekarangan kami, tak bakal kita jumpai serupa lagi. Malam dengan bulan dan ramai mainan anak-anak tak akan terjadi lagi.

Tiang listrik, sorot ball lamp dan neon ber-watt-watt telah menenggelamkan nyanyian bulan yang dibarengi kilauan cahaya yang dipantulkan daun kelapa. Dering jam dinding telah melibas kokok ayam jantan di esok hari. Dering hand phone senantiasa membuat kita terjaga. Keheningan selalu siap dibangunkan dengan rencana-rencana kerja. Tapi begitu lah adanya. Bukan berarti kalah. Kita bangun kerajaan kenangan. Karena kenangan dan cinta membuat hidup menjadi lebih betah.

Kami akan sangat bahagia jika banyak rekan-rekan yang mau memberikan kontribusi kelengkapan info data tentang pohon-pohon yang kini semakin tak terdengar, dikenal atau dikenang. Meski anda bukan seperti kami, mungkin, info anda bakal menjadi serangkai cerita. Kelak anak cucu kita bisa menyimaknya. Atau setidaknya untuk kita sejenak istirah.
Apa yang hendak kita katakan pada anak cucu kita
tentang bulan, pohon dan angin yang memainkan kilauan cahaya?
jika kita tak pernah membuatnya betah untuk dikenang
Lalu kita akan seperti anak-anak
Selalu meninggalkan mainannya terserak di lantai
tak ada kesadaran untuk menata, merawat dan menyimpannya
Esok hari, kita tinggal menemu sisa-sisa dan keburu membuangnya
pohon-pohon yang dilupakan daunnya, dan malam tanpa kegelapan ............................didik.

Rabu, 06 Agustus 2008

Pohon Lo: Tak Aku Jumpa Bungamu

Namanya memang cukup singkat, dan tampak bergaya cina. Namun memang orang-orang di desaku dan hampir semua orang yang kutemui di DIY, juga menyebutnya dengan nama lo. Pohon ini akan banyak kita dijumpai di pinggir sungai. Namun suatu ketika, kita bisa juga mendapatkanya di pekarangan rumah. Atau bahkan menempel di tembek-temboh rumah tua yang lembab dan sedikit basah.

Kata orang nich, siapa saja yang dapat menemukan bunga lo, dia-lah orang yang teranugrahi. Bunga lo memiliki mujizat luar biasa, dapat sebagai penyembuh penyakit atau pula jimat kesaktian. Namun jangan banyak berharap kita akan menjumpai bunga lo. Karena memang pohon ini hampir dapat dikatakan tidak berbunga. Bunga lo yang sarat dengan mujizat memang mitos yang masih hidup di masyarakat. Khususnya kaum klenik.

Pohon lo, kini juga banyak dikoleksi orang dalam bentuk bonsai. Batangnya yang bergetah dan akarnya cukup mudah tumbuh, memang cocok dibuat bonsai. Atau di taman belakang rumah. Tapi sekali lagi, jangan harap anda bisa menemukan bunganya. Dan cerita tentang bunga Lo, tetap menjadi mitos. Sampai saat ini. ....(didik)