Mungkin suatu ketika, aku atau juga dirimu, masih bisa menjumpai batang-batang pohon tampak bersih mengkilat. Tumbuh di halaman atau samping rumah. Atau mungkin jauh di tengah pekarangan kosong. Tentu, bukan karena cat atau melamin. Tetapi, karena terlalu sering dipanjat.
Berpuluh-puluh tangan, berpuluh-puluh kaki anak-anak, memahat kegembiraan. Memburu dan mendapatkan. Adalah kebanggaan tersendiri. Adalah nuansa keceriaan. Tatkala pagi, siang dan senja membuat warna hari-hari.
25 tahun yang lalu, ketika musim buah wuni tiba desaku, anak-anak seringkali memburunya. Memanjat, menggapai dan memetik. Buah-buah berwarna merah, Ranting-ranting diayun dan dipatah. Rasa asam ditahan dan nikmat di lidah.
Buah wuni yang telah masak bener, hitam warnanya. Manis rasanya. Dulu di desaku, pohon wuni tumbuh di belakang rumah Mbah Tanu. Tak cukup tinggi. Yang pasti, ketika aku berada pada pokok pohon bagian atas, aku dapat memandangi atap-atap limas an rumah Mbah Tanu. Genteng berlumut hitam, tak rapi jajaranya. Tampak kotor dan berdebu.
Aku dan juga teman-teman sepermainanku, tak sering berjumpa dengan buah wuni berwarna hitam. Karena belum sampai saat masak, kami sudah keburu memetiknya. Atau anak-anak lain di desaku. Kami hanya menemu wuni berwarna merah. Tapi cukup buat kami.
Mungkin di antara kita masih ada yang mengingatnya. Wuni dengan rasa asamnya, sering kali juga dipakai untuk membuat sambal rujak atau lotis. Tentu bukan kami yang memetiknya, karena setahuku, pohon itu telah ta ada. Rumah Mbah Tanu juga telah menghadap ke utara. Salam rindu buat teman-teman di desaku..............didik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar